Sunday, December 9, 2012

keunikan bahasa medan


Keunikan bahasa medan


Secara umum, fungsi bahasa adalah alat untuk berkomunikasi (Fasold,1991). Fungsi itu tentu sangat vital mengingat kita sebagai makhluk hidup membutuhkan komunikasi satu sama lain.
Bahasa sendiri terdiri dari berbagai jenis, mulai dari bahasa manusia hingga bahasa mesin. Bahasa manusia pun ada bermacam-macam. Di Indonesia saja ada sekitar 700an bahasa daerah selain bahasa Indonesia yang telah ditetapkan sebagai bahasa nasional.
Nah, kesalahan dalam berbahasa ternyata bisa berakibat tidak baik bahkan fatal. Bisa terjadi kesalahpahaman antara si penutur dengan lawan bicara. Itu terjadi jika apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang dipahami pendengarnya.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika saya berbelanja di kawasan Blok M, Jakarta. “Mau beli untuk siapa? “ Tanya seorang kawan ketika saya memilih beberapa buah baju. “Untuk Bos, “ jawab saya.
“Wah, baik sekali kamu, Bos kamu gajinya lebih besar, pekerjaannya juga enak, hanya perlu menyuruh anak buah saja, tapi kamu masih ingat untuk membelikannya oleh-oleh, “ katanya seolah salut kepada saya.
“Bosku itu petani, manalah gajinya besar, kerjanya juga capek, dia nggak punya anak buah, “ jawab saya sambil melanjutkan memilih-milih baju yang cocok.
“Lho, kamu ini kerja di kantor, bagaimana mungkin bos kamu seorang petani? “ tanyanya semakin haran. Saya langsung menyadari bahwa si kawan tadi telah salah paham. Jelas dia mengartikan bos itu seperti arti yang sebenarnya, yaitu atasan di tempat saya bekerja.
“Hehe, maaf ya, maksudku aku membeli baju ini untuk orang tuaku. Di Medan, kami meyebut kedua orang tua dengan istilah bos. Jadi, ada bos cowok yang artinya ayah atau di Jakarta biasa disebut bokap, dan bos cewek yang artinya ibu atau yang di Jakarta biasa disebut nyokap, “ begitu saya menjelaskan.
“Orang Medan memang aneh ya? “ katanya sembari menahan geli.
Berbeda Arti
Di Medan, jelas orang-orangnya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia, apalagi terdapat bermacam suku yang hidup rukun di sini. Pastilah bahasa Indonesia mendapat tempat yang istimewa apalagi karena sudah ditetapkan sebagai bahsa nasional kita.
Namun, bahasa Indonesia bisa berbeda maknanya jika yang menggunakan adalah orang Medan dan sekitarnya (Sumut). Ketika kita menyebut kereta, maka yang dimaksud itu adalah sepeda motor. Dan kereta-kereta di Medan biasanya mengisi minyak (baca: bensin) di galon (maksudnya: SPBU-stasiun pengisian bahan bakar umum).
Pajak bukan berarti kantor pelayanan pajak (KPP), tetapi pasar. Sedangkan pasar artinya jalan. Itulah sebabnya ada istilah Pasar 1, Pasar 2, dan seterusnya. Pusing, bukan? Oh iya, di Medan, pusing itu artinya berkeliling atau mengitari sesuatu. Bagaimana dengan pusing yang artinya sakit kepala? Kalau yang itu, orang Medan akan menyebutnya dengan pening. Pening kali kepalaku!
Itu belum seberapa,. Coba kita perhatikan lagi. Ketika ada yang menyebut, “Dia tukang kompas. “ Bukan berarti dia bekerja di harian Kompas, atau kerjanya menjajakan alat penunjuk arah mata angin itu, tapi dia adalah seorang yang senang meminta uang dari orang lain dengan cara memaksa.
Padanan kata kompas adalah nanduk. Contohnya: Ali suka nanduk Widia. Itu bukan berarti Ali memiliki tanduk dan suka menyeruduk si Widia. Maksud kalimat itu adalah si Ali selalu meminta uang (atau sesuatu) kepada si Widia dengan cara memaksa atau mengancam.
“Awas Bang, dia mau nembak! “ kata seorang penumpang, maaf, maksudnya sewa, kepada supir angkutan umum ( kadang disebut motor sewa). Itu bukan berarti si dia itu seorang polisi yang hendak menembak korbannya. Nembak maksudnya tidak membayar ongkos, sedangkan sewa berarti penumpang. Makanya supir-supir di Medan sering mengeluh. “Uh, payah kali pun sewa sekarang “. Itu berarti angkutannya sepi penumpang.
Dulu ketika saya masi kecil, ada istilah limper, limpul, dan limrat untuk meyebut satuan uang recehan. Limper artinya lima perak atau lima rupiah. Limpul artinya lima puluh rupiah, dan limrat artinya lima ratus rupiah.
Sebuah keunikan
“Bahasa Medan “, begitulah kira-kira ungkapan yang pas untuk menggambarkan bahasa yang dipakai orang-orang di Medan. Bahasanya adalah bahasa Indonesia dan bahasa karena menggunakan kata-kata atau singkatan dari kata-kata bahasa Indonesia ditambah kata-kata hasil “kreasi “ masyarakat Medan. Namun, kata-kata yang berasal dari bahasa Indonesia itu sudah melenceng dari arti yang sebenarnya. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman antara si pembicara dan si pendengar. Tentunya hal ini tidak berlaku bagi orang Medan yang sudah sama-sama memahami “bahasa Medan “.
Untuk “bahasa Medan “ yang kata-katanya “buatan sendiri “, tentu tidak akan menimbulkan kesalahpahaman, sebab bagi yang tidak memahami artinya hanya akan menghadapi resiko yaitu bingung. Mereka pasti akan bertanya apa arti dari pencorot, lantak, kedan, sudako, balen, lasak, atau angek. Namun, jika kata yang dipakai berasal dari bahasa Indonesia, tentu para pendengar sudah memahami arti yang sebenarnya, eh, ternyata yang dimaksud lain lagi. Bisa kecele, bukan?
Apakah kesalahan berbahasa ini sebuah kekayaan bagi kita? Entahlah, yang jelas, “bahasa Medan “adalah sebuah keunikan yang terus terjaga kelestariannya. Bahkan terkadang para penuturnya menganggap “Bahasa Medan“ sebagai sebuah kebanggaan. Saya pernah menemukan “Kamus Bahasa Medan“ yang dikirim seorang kawan melalui surat elektronik (e-mail). Di sana terdapat kata-kata dalam bahasa Indonesia beserta artinya jika kata-kata itu “diamalkan“ oleh orang Medan. Kamus itu konon sebagai referensi bagi orang-orang yang hendak berkunjung ke Medan agar tidak bingung.
Iseng saya mengetik kata kunci “bahasa Medan“ di Google, hasilnya: ada 150 ribu halaman situs web yang memuat atau berhubungan dengan “bahasa Medan“. Wah, sudah mendunia juga, paling tidak di dunia maya, bahasa kita ini.
Begitulah “bahasa Medan“ yang sering membuat orang-orang dari kota lain bingung. Ia bukanlah bahasa daerah. Ia bukan bahasa Batak, Melayu, Karo, Dairi, Mandailing, Nias, Tionghoa, Minang, atau Jawa. Ia adalah bahasa Indonesia dan hasil kreasi masyarakat Medan sendiri. Mau kau coba???
Tulisan ini dimuat di Harian Analisa tanggal 23 Agustus 2008. Penulis adalah Ketua Kelompok Studi: Sosial, Ekonomi, dan Teknologi Informasi (KS-SEKTI).

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More